Kamis, 14 Oktober 2010

AKU dan CINTA

Tiap jiwa adalah berharga, aku baru mempelajarinya setelah umurku 20 tahun. Yang harusnya kulakukan 3 atau 4 tahun sebelumnya, agar aku tak dihantui penyesalan seperti sekarang ini. Perpisahan. Dalam hidupku banyak sekali kutemui kata perpisahan. Kata yang sejujurnya, dan sudah seharusnya, kubenci dan menghindarinya, tapi aku malah mulai terbiasa dengannya…sejak kepergian ayah tiga tahun yang lalu. Kepergian ayah sesungguhnya menorehkan luka yang teramat dalam dihati, tapi anehnya luka itu tidak terasa sakitnya saat itu terjadi tiga tahun yang lalu. Tiga tahun yang lalu yang aku tahu salah satu makhluk Tuhan diambil kembali oleh Tuannya, dan dia pergi hanya berpindah tempat (alam). Tanpa kusadari luka itu bersemayam didasar hati. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, luka itu semakin dalam hingga kini seakan berdarah. Tahun-tahun belakangan ini aku baru menyadari keberadaan luka itu, bersamaan dengan kusadari bahwa takkan ada lagi suara sapaan ayah ketika kurindu..takkan ada lagi canda tawa antara kami saat ku sedih..takkan ada lagi kata-kata bijaknya saat kubutuh. Aku pernah membaca sebuah kalimat “luka itu tetap akan menganga, kau tidak pernah menjahitnya”. Seperti keadaanku.
Luka hati itu semakin bertambah parah dengan ketidakadaannya sosok ibu yang kubutuhkan disampingku. Dan saat berumur 20 tahun aku patah hati. Lelaki yang menyayangiku ku abaikan hanya demi lelaki yang kusukai yang, pada kenyataannya aku tahu, tidak sungguh-sungguh menyayangiku. Di umur 20 tahun aku belajar banyak hal. Di umur 20 aku menyadari bahwa satu-satunya pria yang sungguh-sungguh mencintai dan menyayangiku sepenuh hati di dunia ini hanyalah ayah, dan tidak akan ada yang bisa menyamainya untuk menyayangiku. Walaupun aku dan ayah sangat jarang bertemu. Dia harus banting tulang di negeri orang…untukku. Untuk kelangsungan hidupku. Setidaknya itulah yang kupikirkan tentang ayah. Apa lagi bakti seorang anak kepada ayahnya yang sudah meninggal selain mendoakannya dan berpikir dan berkata yang baik tentangnya? Begitupun dengan ibu.
Ayah bilang ibu pergi meninggalkan kami saat umurku baru mencapai 7 bulan. Katanya dia pergi begitu saja. Dan sama sekali belum ada konfirmasi lagi dari ayah tentang alasan kepergian ibu bahkan sampai ayah meninggal. Tapi dia adalah ibuku, wanita yang mengandung aku selama 9 bulan dengan segala rasa sakit dan lelahnya, dia juga yang melahirkan aku dengan perngorbanan darah bahkan nyawanya. Maka aku sebagai anak sudah mesti wajib berbakti juga kepadanya. Apapun yang terjadi saat aku berumur 7 bulan, apapun yang dipikirkan orang tentang ibuku, dan apapun yang ibuku pikirkan tentang aku dimanapun dia berada sekarang, aku akan berpikir dan berkata yang baik tentangnya. Apa lagi bakti anak kepada ibunya yang tidak ada didekatnya selain dengan mendoakannya dan berpikir dan berkata yang baik tentangnya?
Ayah itu adalah anak pertama dari 9 bersaudara. Dia memiliki 2 adik laki-laki dan 6 adik perempuan. Mereka semua menjagaku, memastikan aku tidak kekurangan makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dsb. Mereka semua berkata padaku bahwa mereka menyayangiku layaknya anak mereka sendiri. Aku menghargai mereka, dan semua limpahan perhatian mereka yang sengaja mereka bagi padaku. Tapi ketika aku melihat salah satu bibiku bercengkrama dengan mesranya bersama anak perempuannya, aku mulai berpikir, bahwa kata “menyayangi” saat mereka berkata akan menyayangiku seperti anak mereka sendiri akan lebih tepat jika diganti dengan kata “menjaga”. Aku hanya bisa melihat dari kejauhan dan tersenyum melihat mereka memeluk dan menciumi anak-anak mereka sementara anak-anak mereka tertawa bahagia dalam pelukan ibunya. Aku hanya bisa memalingkan pandanganku ketika melihat mereka memeluk dan mengusap airmata anak mereka ketika anak-anak mereka menangis karena sesuatu. Karena aku tidak akan tahan untuk tidak menangis jika tidak kupalingkan wajahku. Sementara jika ku biarkan diriku menangis hanya karena itu, siapa yang akan mengusap airmataku? Menjadi tahan banting, tebal muka, tidak berperasaan, tidak boleh terlalu menyayangi sesuatu/seseorang, tidak berharap, hanya menerima. Itu yang kupelajari begitu usiaku mencapai 20 tahun. Dan aku pikir itulah yang paling benar. Aku pikir itulah yang Tuhanku mau aku pelajari setelah semua yang Dia timpakan padaku.

Dalam beberapa hal, banyak hal, mungkin aku belum tahu pasti. Tapi untuk sebagian lagi yang sudah kumengerti aku tahu aku telah salah. Perihal dicintai dan mencintai bagiku adalah perihal besar dalam hidupku. Dimana hampir sebagian orang tidak kekurangan dalam hal itu, dan aku merasa aku sangat kekurangan. Disitulah letak kesalahanku. Aku merasa kekurangan karena aku hanya mencari yang tidak ada disekitarku, dan meniadakan cinta disekitarku. Tidak ada orang baik dan orang jahat. Semua manusia bisa baik dan jahat kapan saja dimana saja. Yang ada hanya prasangka kita pada sekitar kita. Prasangka baik akan membawa semua yang negatif menjadi positif. Prasangka buruk akan membawa semua yang positif menjadi negatif. Ayah ‘pernah’ menyayangiku dengan sepenuh hatinya, tapi cintanya hanya untuk Tuhannya. Itu sebabnya Tuhan begitu menyayanginya dan menjaganya. Ibu, sesuatu yang masih misteri dalam hidupku. Bahkan begitu usiaku beranjak 21. Tapi aku meyakinkan diriku bahwa kasih sayanglah yang membuat ibu bertahan selama 9 bulan mengandung aku diperutnya, dan akhirnya melahirkan aku kedunia. Apa lagi yang bisa membuat seseorang rela mengorbankan berliter-liter darah untuk melahirkan seorang manusia di dunia, bahkan nyawanyapun sudah siap ia korbankan saat itu, selain kasih sayang?
Para paman dan bibiku. Aku tahu seharusnya tidak mengukur-ukur sedalam apa kasih sayang mereka padaku. Bagaimanapun, aku juga tidak akan rela melihat ibu yang melahirkan aku lebih berkasih sayang kepada orang yang tidak dia lahirkan dari perutnya sendiri. Sudah seharusnya aku lebih memikirkan perasaan anak-anak mereka ketimbang perasaan mereka kepadaku. Masalah mereka menyayangiku atau hanya menjagaku, tidak akan ada penjagaan jika tidak dikasihi dan disayangi. Yang mereka tahu mereka menyayangi aku seperti anak mereka sendiri. Mereka tidak tahu menahu tentang bagaimana cara menyayangi yang aku inginkan, dan itu bukan salah mereka. Dan faktanya, apa yang aku inginkan memang tidak selalu kudapatkan dari mereka, tapi aku selalu mendapatkan yang aku butuhkan. Tuhan mengurusku melalui tangan-tangan mulia mereka. Dan selama ini aku buta akan semua hal kecil itu, dan menghabiskan waktuku untuk mencari dan menangisi yang tidak ada. Teman-teman disekitarku. Aku merasa mereka beruntung memiliki keluarga yang lengkap, sementara akulah, hanya akulah, yang patut dikasihani Tuhan hanya karena aku ditinggal pergi ibuku, dan ayahku tidak ada lagi di dunia. Hm, rasanya aku ingin menertawai diriku sendiri. Pantaslah jika seseorang menyebutku cengeng jika aku terus begini. Tapi untungnya selama ini tidak pernah ada yang menyebutku seperti itu. Mana aku tahu mereka bahagia atau tidak dengan lengkapnya keluarga mereka. Ternyata kebahagiaan tidak bisa diukur dengan lengkap atau tidaknya sebuah keluarga, tapi berapa besar kesyukuran kita terhadap apa yang sudah diberikan Tuhan kepada kita, dan apa-apa yang sudah Dia percayakan kepada kita. Adapun kelengkapan keluarga, kekayaan, dan semacamnya hanyalah pelengkap. Atau malah menjadi ujian dari Tuhan untuk menguji apakah kita bisa bertanggung jawab dengan yang kita miliki atau tidak. Tuhan pernah mempercayakan seorang ayah yang baik kepadaku, tapi aku tidak benar-benar berbakti kepadanya. Aku tidak bertanggung jawab atasnya, makanya Tuhan mengambilnya kembali. Itu adalah teguran untukku agar lain kali aku lebih berhati-hati. Tapi aku kembali mengulangi kesalahan itu terhadap nenekku. Aku kurang berbakti padanya hingga Tuhan kembali mengambilnya. Sekarang bagaimana aku memaafkan diriku? Setelah menyadari itu semua, aku melihat sekelilingku. Banyak sekali kasih sayang yang Tuhan percayakan padaku. Jika aku terus menutup hatiku untuk yang telah pergi atau yang tidak sedang didekatku, aku akan kembali mengulangi kesalahanku. Aku bertanya, bagaimana jika Tuhan kembali mengambil mereka. Apakah aku akan sanggup memaafkan diriku? Kurasa tidak. Bagaimana akan kupertanggung jawabkan diriku kepada Tuhanku nanti? Aku menatap lekat-lekat pantulan diriku di cermin, aku berkata kepada diriku sendiri, “ayo, jadi diri sendiri. Hanya dengan begitu kau akan nyaman menjalani semuanya. Jika nyaman, kau tidak akan mendzolimi dirimu sendiri, dan orang-orang disekitarmu.” Di usaiku yang ke 21 aku belajar untuk lebih banyak bersyukur. Masih banyak yang perlu aku benahi, termasuk kemampuanku untuk bersyukur.

Sedikit cerita tentang orang-orang yang menjadi inspirasi dalam hidupku. Dimulai dari laki-laki. Laki-laki yang pertama adalah ayah. Dia selalu bisa melihat segala peristiwa dengan rasa syukur. Caranya melihat semua kejadian sangat berbeda. Hal-hal yang menurutku buruk dan negatif, dimatanya akan tetap baik dan positif. Aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya, seakan tidak pernah ada hal buruk menimpanya. Aku tidak tahu bagaimana dia dimata adik-adiknya atau teman-temannya, tapi itulah ayahku yang aku tahu, dan aku tidak perlu tahu seperti apa dia dimata orang lain. Laki-laki kedua adalah…orang itu. Dia tidak begitu peduli apa yang terjadi disekitarnya, yang dia pedulikan hanyalah tetap menjadi baik untuk orang-orang dan berbuat baik kepada Tuhannya. Dia sudah begitu tenang dengan usianya yang tidak beda jauh denganku. Bagaimana dia bisa sefokus itu pada usia segitu, aku masih tidak mengerti. Mungkin aku yang terlalu labil. Perempuan. Perempuan pertama yang menjadi inspirasi dalam hidupku adalah bibiku yang ketiga. Dia sangat berserah diri pada Penciptanya. Benar-benar berserah diri apapun yang akan menimpanya. Karena sifatnya itu, tiap kali ada kebohongan kecil atau besar sampai kepadanya, akan terbongkar dengan sendirinya. Yang aku lihat, Tuhan yang membukakan untuknya tiap tirai kebohongan itu, karena dia menelan bulat-bulat yang datang padanya dan mempercayakannya kepada Tuhan untuk memastikan kebenarannya. Tuhan pastinya terlalu Mahaberkuasa untuk tidak menyibakkan sedikit dari kebohongan dunia itu. Aku ingin seperti dia dimata Tuhanku. Perempuan kedua adalah bibiku yang kelima. Dia bertemu jodohnya jauh sebelum tahu itu jodohnya. Ia melepasnya dan mempercayakan jodohnya kepada Tuhan padahal ia sangat menyukai orang itu. Yang akhirnya menjadi jodohnya. Aku ingin kisah cintaku seperti dia. Sekarang dia sudah memiliki seorang anak laki-laki dan suaminya sangat menyayanginya. Keluarga besan pun sangat menyayanginya karena sifatnya yang penurut dan tidak pernah mengeluh didepan besannya apapun yang terjadi. Aku ingin kehidupan rumah tanggaku nanti seperti dia. Terakhir adalah bibiku yang paling bungsu. Dia pernah melakukan kesalahan dimasa mudanya. Tapi dia bisa memaafkan dirinya dan melanjutkan mencintai sekitarnya. Menurutku, hanya orang berjiwa sangat tangguhlah yang bisa memaafkan kesalahan diri sendiri. Bibiku yang tertua juga sangat membanggakan. Dia kuat bagaikan batu karang, tak goyah diterjang ombak. Aku ingin memiliki mental baja seperti yang dimilikinya. Dia seperti sarang lebah. Jika didekatnya mungkin kau hanya akan merasakan sakitnya disengat lebah, tapi jika sudah jauh kau bisa membeli madu yang manis dan menyehatkan dimanapun kau berada. Bibiku yang kedua orangnya sangat lembut dan tidak pernah berbuat atau berkata buruk kepada orang. Yang aku pelajari darinya adalah berbuat baiklah kepada orang didepan maupun dibelakangnya. Dan bibiku yang keempat sangat suka memanjakanku. Kadang aku merasa lebih nyaman didekatnya. Yang aku pelajari darinya adalah, percaya kepada hati nurani, bukan omongan orang. Aku tipikal orang yang mudah terpengaruh, aku harus banyak belajar darinya. Dia memiliki kesabaran yang cukup teruji.
Lihat, mataku baru mulai terbuka saat umurku bukan lagi 20. Mungkin aku lambat belajar, sehingga Tuhan harus melatihku lagi dan lagi hingga aku mengerti sendiri. Yang terpenting sekarang adalah banyak berterima kasih kepada siapa saja yang berbuat baik padaku, tanpa memikirkan lagi apa maksud mereka dibalik semuanya. Karena aku ingin seperti bibiku yang selalu menyerahkan keselamatan dirinya dan hatinya kepada Tuhannya. Dan juga, membalas budi baik mereka dengan cara yang mampu aku lakukan. Berbuat baik dan berpikir yang baik-baik saja. Karena aku cenderung memikirkan keburukan-keburukan sebelum tahu pasti itu baik atau buruk, dan itu sangat melelahkan. Aku tidak bisa langsung pandai dalam hal ini tapi aku akan melatih diriku. Inti dari semuanya, aku harus tetap berprasangka baik pada Tuhanku. Karena Tuhanku berkata : “Aku tergantung prasangka hamba-Ku.” Tidak ada yang Dia berikan kepadaku kecuali berguna untukku dan mengandung kasih sayangNya. Itu semua yang kupelajari hingga umurku mencapai 21. Saat itu, usia 22, 23, 24 dan seterusnya adalah masih misteri untukku. Termasuk tentang dia, ibuku.

7 komentar:

  1. Bagus tulisannya, begitu menyentuh...

    BalasHapus
  2. hehe, coba2 nulis cerita fiksi dari orang pertama tunggal, biar kayak kisah nyata gitu ;P

    BalasHapus
  3. kayaknya punya bakat...hehehe
    lanjutkan....

    BalasHapus
  4. Tp lebih mirip curcol sih,apapun itu gw suka tulisan n orgnya..mfin gw

    BalasHapus
    Balasan
    1. ga perlu minta maaf..
      Makasih banyak... Anonim.. :)

      Hapus
  5. lebih banyak tau tentang k' vale lewat tulisan ini....:)

    BalasHapus