Kamis, 22 September 2011

Aku dan Cinta (part 2)

Ada dua macam rasa sakit di hati yang aku tahu. Pertama, rasa sakit saat kita baru saja diberi luka itu. Kedua, rasa sakit saat kita mengira luka itu berangsur membaik tapi ternyata tidak. Luka itu masih tetap disana. Menganga. Hanya kita yang terbiasa dengan rasa sakitnya.

Dalam hidup seorang manusia biasanya ada dua orang yang baginya teramat sangat terpenting. Yaitu mereka yang membawa kehidupan untuknya, orangtua. Dalam hidupku, bukan hanya dua orang yang telah membawa kehidupan bagiku. Banyak pihak yang juga ikut serta dalam carut-marutnya kehidupanku. Tapi bagiku, kedua orang itu sama pentingnya seperti pendapat orang pada umumnya. Namun sayangnya mereka lebih memilih mengukir nama mereka dihatiku dari kejauhan. Aku sudah kehilangan dua orang terpenting dalam hidupku itu, jauh sebelum aku sadar seberapa pentingnya mereka bagiku. Jauh sebelum aku mendapati diriku sangat membutuhkan dan merindukan mereka. Itu kehilangan yang paling besar sepanjang sejarah hidupku. Tapi kenyataannya telah kulalui. Tanpa terlalu banyak airmata yang mengalir di depan umum kalau boleh dibilang. Sekalipun dalam kesendirian aku berenang di samudera airmata, aku pikir itu manusiawi. Tapi tetap saja, aku masih berdiri tegap diatas kakiku sendiri. Mengalahkan segala rasa sakit yang mungkin untuk sebagian orang hanya ada di cerita-cerita dongeng. Dongeng yang mengerikan, bukan yang indah.
Pada kenyataannya, masing-masing dari kedua orangtuaku memutuskan untuk tidak membiarkan hatiku terlalu tertaut pada  mereka, begitu juga sebaliknya. Sehingga jika tiba saatnya bagi mereka untuk menghilang dari kehidupanku, masing-masing dari kami tidak terlalu tersakiti. Tidak mengalami kehilangan yang terlalu besar. Agar  kami bisa meneruskan kehidupan kami masing-masing tanpa memikul beban rasa sakit yang terlalu besar. Dan itu berhasil. 60% berhasil.
Dengan pengalaman kehilangan sebesar itu harusnya bisa dibilang aku telah menyeberangi samudera api, atau berjalan dengan bintang dan bulan dibawah kakiku. Harusnya sudah tidak ada yang perlu aku takutkan lagi dalam hidup ini. Apalagi yang harus aku takutkan akan pergi dariku? Orangtua adalah segalanya, dan itu juga sudah pergi dariku. Tapi ternyata aku salah. Alam semesta membuktikannya. Bahkan intuisiku yang paling tidak peka pun ikut berpendapat sama. Ternyata masih banyak yang harus aku takuti, nanti (diluar dari Tuhan karena itu mutlak untuk ditakuti). Dan semuanya tiba-tiba mulai berdatangan seiring dengan datangnya seorang teman.

Seperti lagunya Savage Garden - "I Knew I Love You". Awalnya, liriknya yang berbunyi "I knew I love you before I met you" selalu sulit kucerna. Aku bersikeras, mustahil ada hal seperti itu, sama mustahilnya dengan orang yang berkata dia jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagiku tidak akan ada ketertarikan sebelum kita sudah saling kenal dalam waktu yang cukup lama. Tapi aku kenal seseorang, yang sekarang sudah menjadi temanku. Lebih dari teman, lebih dari sahabat juga. Bahkan bisa dibilang lebih dari semua yang aku punya di dunia ini. Dia merubah pemikiranku. Seperti merubah ketidakpercayaanku atas bunga edelweis yang katanya abadi menjadi 100% percaya.
Dia sudah memasuki hidupku sebelum aku sadar kalau aku menginginkannya masuk ke dalam hidupku. Dia sudah menarik perhatianku sebelum aku menyadarinya. Bukan pengalaman yang menyenangkan, karena rasanya seperti kecolongan. Dan aku bukan tipe yang mudah memberi perhatian ---pengalaman hidup dan lingkungan yang mengajariku begitu. Tapi dia melakukannya, mungkin tanpa sengaja, tapi dia tetap sudah melakukannya. Membuatku risih dan berusaha menjauhkan diri. Namun semakin besar keinginanku menjauhkan diri darinya, aku malah semakin tertarik, entah oleh apa, mendekat dengannya. Sampai akhirnya aku tidak sanggup lagi, bahkan hanya untuk membayangkan, untuk menjauhkan diriku darinya. Dia seperti sungai Amazon, dan aku membiarkan diriku terbawa arusnya tanpa perlawanan.
Makin hari hatiku makin tertaut padanya. Dan tautan itu makin mengerat begitu aku merasakan dia juga mulai menautkan hatinya padaku. Terkadang aku mengingatkan diri sendiri ini tidak baik, kedekatan yang berlebihan dengan seseorang. Karena yang kutahu semua itu, seindah apapun awalnya, pasti bermuara pada sebuah perpisahan. Dalam perpisahan sudah pasti ada airmata dan, hal yang ingin selalu kuhindari, rasa sakit. Tapi semakin sering aku ingatkan diriku, semakin aku sulit mengingat seperti apa rasa sakit itu hingga aku harus merasa setakut itu. Membuatku terus melangkah tanpa pikir panjang.
Sekarang, jika harus aku merasa takut, itu lebih dari kata terlambat. Bahkan tidak ada gunanya lagi bagiku untuk repot-repot memikirkannya. Karena semua yang aku takutkan sudah setengah jalan didepanku. Ironisnya, aku sendiri yang menapaki kakiku untuk mendekat. Sekarang, yang aku rasakan hanya kelegaan. Karena yang kucari-cari sudah kutemukan. Dia temanku. Temanku mengarungi ribuan rasa dimuka bumi ini. Temanku saat aku kebingungan, teman saat aku tertawa dan menangis, bahkan teman saat aku dibakar amarah dan teman saat aku bersikap kekanak-kanakan. Saat aku sedang mengalami masa-masa dimana kebanyakan orang akan menarik diri menjauh dariku dan membelakangiku, dia temanku malah mengulurkan tangannya untukku. Sekalipun dia sendiri tertatih dan berdarah. Dia bahkan tidak mengabaikanku. Saat itu aku tersadar. Dia bukan sungai deras yang arusnya membawaku kemana ia mau. Kami sama-sama terbawa arus deras dari sungai hati kami.
Nanti, jika tiba saatnya kami untuk berpisah karena alasan dan atau sebab yang belum terpikirkan olehku saat ini, kami akan mengalami kehilangan yang amat besar, dan masing-masing dari kami harus menanggungnya akibat dari apa yang telah kami lakukan sekarang. Membiarkan dua hati menjadi terpaut begitu eratnya. Seperti bayi yang terlahir kembar siam, saat dipisahkan dengan gunting dan pisau bedah keduanya akan tersiksa dan salah satunya akan mati hanya karena tidak mampu menahan perihnya terpisah dari sebagian dari dirinya. Cepat atau lambat aku dan dia pasti merasakan hal yang sama, dengan masing-masing dari kami harus menanggungnya sendiri-sendiri. Tidak akan ada dia untuk menguatkanku, dan tidak mungkin untukku datang padanya dan berkata "jangan bersedih, aku disini".
Nanti, segalanya akan berbeda dengan yang pertama. Aku akan kehilangan sesuatu yang besar, lagi. Tapi kemudian kami sama-sama sadar. Perpisahanlah yang membuat pertemuan dan kebersamaan itu menjadi indah dan bermakna. Tanpa menyadari akan adanya perpisahan suatu saat nanti, kami tidak akan saling merangkul dan menyayangi saat ini. Temanku, berjuang ya. Semangat!! ^_^


"Untuk teman hati, yang selalu bersabar dan setia menemani. Tulisan ini untukmu."

3 komentar:

  1. kalau sampe ada yang gunting.. iia cari yang lain.. kek nya itu lebih masuk akal :p

    BalasHapus
  2. Dalam cinta, meski kamu harus menunggu lama, percayalah bahwa cinta pasti membawamu ke tempat kamu seharusnya berada. #pepatah
    ayo semangat menyelesaikan cerita ini.. kalau bisa malah dijadikan novel aja sekalian.. kayaknya seru.. (gym_okok)(code_okok)
    LANG

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus