Selasa, 27 September 2011

Album Foto

Matahari mulai tenggelam di barat. Cahayanya yang memerah memasuki ruang tengah melalui celah-celah tirai jendela tipis putih itu. Membuat seisi ruangan bernuansa jingga keemasan. Seorang wanita tua berjalan tertatih kearah kursi goyang dekat perapian yang belum menyala. Tangan kanannya menggenggam ujung tongkatnya dengan kuat sambil terus melangkah. Sementara tangan kirinya memegang sebuah album foto tua berwarna coklat kusam. Setelah sampai depan perapian, dia meletakkan album foto itu diatas kursi goyang dan dengan gerakan yang lambat merunduk menyalakan perapiannya dengan pematik api. Kemudian mengambil kembali album foto itu dan duduk diatas kursi goyang seraya memangku album foto tuanya.
       Senja hari itu berjalan sangat lambat. Bahkan lebih lambat dari kepakan sayap kupu-kupu yang senantiasa memenuhi taman belakang rumah Mira, sedari dia muda belia dulu, hingga kini saat ia telah mencapai penghujung usianya. Mira membelai cover album foto usang itu. Matanya berbinar, jantungnya berdetak agak lebih cepat dari biasanya. Banyak yang akan terjadi saat dia membuka lembar pertama album foto itu. Bukan disekitarnya, tapi dalam kepalanya. Dan detakan jantungnya kian memburu hingga Mira akhirnya membuka lembar pertama album fotonya.
       Terlihat gambar seorang pria muda tampan dengan seorang wanita muda yang cantik, yang memiliki mata seindah Mira. Diantara mereka ada sosok bayi mungil dengan telapak tangan terkatup dan pipi merah merona sedang terlelap. Bibir keriput Mira menyunggingkan senyuman melihat potret masa kecilnya. Samar-samar terlihat senyum termanis yang pernah dimiliki seorang gadis belia puluhan tahun yang lalu. Saat bibir itu masih memerah layaknya bunga yang baru merekah, saat pipi itu masih kenyal dan berseri-seri. Senyum yang terlihat sama dengan senyuman sosok pria muda dalam foto itu. Salah satu persamaan antara dia dan dirinya dalam foto itu adalah mereka sama-sama rapuh. Bedanya saat itu dia masih rapuh tapi siap menantang dunia. Dan sekarang Mira kembali rapuh, serta membelakangi dunia. Mira merasa dunia bukan lagi diperuntukkan untuknya, maka dia memilih hidup dengan kenangan-kenangannya. Jemarinya gemetar membelai sosok kedua orangtuanya. Kemudian dibukanya lembar kedua.
       Mira ingat saat itu. Itu salah satu saat terindah dalam hidupnya. Itu saat dia merayakan ulangtahunnya yang ke-7. Itu perayaan ulangtahunnya bersama kedua orangtuanya untuk yang pertama, dan terakhir. Gadis kecil itu meniup lilin dengan penuh semangat dan pengharapan akan hidup bahagia yang membumbung tinggi. Hingga ketidaksiapannya terlihat jelas di lembar ketiga album foto Mira. Sosok Mira berumur 9 tahun dengan ayahnya, saat mereka sedang tertidur berdua. Foto itu diambil oleh bibinya waktu ia dan ayahnya berkunjung ke kampung halaman nenek untuk pemakaman nenek, dua tahun setelah ibunya memutuskan untuk pergi dari hidup mereka. Bukan tanpa alasan ibunya pergi. Mereka bertengkar hebat bahkan sampai tak sadar sedang diawasi gadis berusia 7 tahun. Paginya Mira tidak lagi memiliki ibu. Wanita itu pergi dan tak kembali. Tak ada kabar, bahkan sekalipun Mira terus menunggunya. Diantara semua fotonya berdua dengan ayahnya, Mira hanya menyimpan yang satu itu. Mira merasa selembar foto itu bermakna sangat dalam.
      Setahun setelah sepeninggalan neneknya, Mira kehilangan ayahnya. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan saat sedang bekerja. Mira merasakan hidupnya runtuh berkeping-keping. Meskipun kesehariannya ayahnya tidak terlalu banyak bicara lagi seperti dulu, tapi keberadaannya setidaknya membuat Mira merasa tidak benar-benar sendirian. Dan saat itu perasaan setengah nyaman atas kebersamaannya dengan ayahnya terenggut habis dengan perginya satu-satunya sosok nyata dalam hidupnya. Mulai saat itu Mira belajar melangkah sendiri. Melakukan, memikirkan dan merasakan apapun sendiri.
       Di lembar selanjutnya rona wajah Mira berubah. Sesuatu dalam foto itu membuatnya nampak sedih tak terhingga. Sesosok pria muda menggunakan seragam kelulusannya. Pria itu tersenyum lebar padanya, seakan berkata "Lihat aku, Mira. Tersenyumlah saat kau melihatku". Dan Mira melakukannya. Bibirnya tersenyum, dengan mata berkaca-kaca. Disudut kiri bawah foto ada gambar hati kecil. Mira mengenalinya sebagai karyanya sendiri, saat ia diam-diam jatuh cinta pada pria yang baru dikenalnya 6 bulan terakhir, Ken. Foto selanjutnya adalah foto dimana Mira dan Ken sedang jalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan, menghabiskan waktu berdua. Dalam foto itu Mira begitu berbeda. Dia tertawa lebar sekali. Seingatnya saat itu dia bukan hanya tertawa lebar. Saat itu dia sedang terpingkal-pingkal karena tingkah Ken. Yang tak disangka tangan Ken terjulur dan mengambil gambar mereka saat Mira sedang tertawa terbahak-bahak.
       "Aku selalu ingin mengabadikan tawamu, tapi selalu terlambat." kata Ken setelahnya. "Thank God hari ini kau tertawa lepas dengan durasi yang agak lama dari biasanya, jadi aku akhirnya bisa melakukannya."
Mira ingat, hari itu dimana Ken mengantarnya pulang dan berkata, "Bolehkan aku menyukaimu?" Membuat jantungnya berdegup kencang lagi untuk pertama kalinya, setelah lama jantungnya berdetak tak berirama dan hanya berdetak. Dan saat itu Mira mulai merasakan irama itu kembali ke balik rongga dadanya.
    "Sebenarnya, aku sudah lebih dari menyukaimu," kata Ken lagi, saat Mira menjawab "Ya" untuk pertanyaan sebelumnya. "Apakah itu tidak apa-apa? Apa kau keberatan dengan itu?" Mira hanya bisa menggeleng sambil tersenyum. Apa yang membuatnya tersenyum saat itu Mira pun tak tahu.
       Foto di lembar selanjutnya adalah potret kebahagiaan dalam hidup Mira, yang menurutnya akhirnya kembali setelah beberapa dekade bersembunyi entah kemana. Itu foto saat dirinya dan Ken, pria yang dicintainya, mengikat janji suci dihadapan Tuhan. Mengenang masa itu membuat wajah keriput wanita 70 tahun itu kembali merona. Setitik air hangat menyembul keluar dari sudut kelopak matanya. Saat itu Mira merasakan kebahagiaan dan ketakutan sekaligus. Potret-potret kehidupannya di masa lalu menghantuinya. Tapi genggaman tangan Ken terlalu kuat untuk dilepaskan. Dan Ken terus saja menuntunnya untuk melangkah maju bersamanya. Seakan berkata "Tidak ada yang perlu ditakutkan jika bersamaku".
        Kemudian Mira melihat pria paruh baya sedang mencium perut istrinya yang sedang hamil tua. Foto itu diambil saat Mira sedang mengandung 8 bulan. Itu 5 tahun setelah pernikahan mereka. Saat itu Ken terlampau bahagia karena apa yang paling dinantikannya akhirnya akan datang. Anak pertamanya. Keng yang kalap telah menyiapkan segalanya untuk si bayi. Kamar tidur, baju-baju, sepatu, mainan bahkan tabungan untuk pendidikannya. Dia adalah ayah yang paling siap sepanjang sejarah. Tapi Tuhan berkehendak lain. Mira mengalami kecelakaan dan mereka kehilangan bayi mereka. Kecelakaan kecil, yang merenggut sesuatu yang besar. Mimpi Ken. Mira tidak akan bisa mengandung lagi, rahimnya diangkat. Bersama impian Ken dan sebagian besar kebahagiaan Mira didalamnya.
       Setelahnya Ken tidak pernah sama lagi. Dia selalu hidup dengan perasaan bersalahnya pada Mira, pada bayinya yang telah tiada. Mereka kerap bertengkar. Tiap kali bertengkar dan mereka mengurung diri di ruangan masing-masing Mira selalu merasa Ken menjauh darinya dan sebentar lagi dia akan pergi seperti yang dilakukan ibunya dulu. Tapi kemudian Ken kembali. Ken selalu kembali. Dan setelah bertahun-tahun mereka hidup bersama dan bertengkar, akhirnya Mira sadar, Ken tidak pernah menjauh. Mira mulai mengerti makna cinta. Yang selama ini tidak pernah diajarkan siapapun kepadanya. Mira dan Ken menua bersama.
"Aku selalu ingin mengabadikan tawamu, tapi selalu terlambat." kata Ken setelahnya. "Thank God hari ini kau tertawa lepas dengan durasi yang agak lama dari biasanya, jadi aku akhirnya bisa melakukannya."
       Airmata mengalir deras membasahi album foto, ketika Mira melihat foto Ken tua sedang berkebun dan tersenyum lebar kearahnya. Ken selalu melakukannya, memaksa Mira tersenyum dengan senyumannya, tak peduli seburuk apa suasana hati Mira saat itu. Mira tetap merasa senyum Ken senyum paling menawan, sekalipun saat itu giginya tak lagi putih rata seperti gading. Ken tua hanya tinggal memiliki dua pasang gigi. Dan saat dia meninggal, giginya sudah habis semua (*hehehe!). Ken meninggal saat umurnya mencapai 70 tahun. Saat itu umur Mira baru 67 tahun. Ken pergi dengan membawa segenap hidup Mira bersamanya. Dan semuanya tidak kembali lagi.
      Mira menutup album foto tuanya. Menghapus airmata yang membasahi pipi keriputnya. Hari ini Mira sengaja memakai gaun indah pemberian Ken saat mereka berdua merayakan ulangtahun pernikahan mereka yang ke-39. Gaun itu gaun terakhir yang dibeli Ken. Setelah itu mereka terus merayakan ulangtahun pernikahan dengan pakaian yang sama tiap tahunnya. Dan hari ini adalah hari ulangtahun pernikahan mereka yang ke-43.
      "Selamat ulangtahun, sayang." Kata Mira sambil tersenyum lemah pada foto pernikahannya yang terpasang di dinding. Mira merasa lelah luar biasa. Mungkin  semua persiapan ini yang membuatnya kelelahan. Mungkin dia harus beristirahat sejenak. Mungkin jika dia menutup matanya sekarang, dia akan bertemu dengan Ken muda yang mengajaknya berdansa, dan ia, gadis belia dengan bibir bergincu merah menantang, menerima ajakan kekasihnya. Mungkin...

      Semburat pucat kemerahan nampak di ufuk timur. Seleret cahaya menerobos masuk melalui tirai-tirai itu. Cahaya mentari pagi menari-nari diatas tubuh Mira tua yang tak bernyawa. Kini, gadis belia itu kembali tertawa, bersama sang kekasih, berdansa.

Kamis, 22 September 2011

Aku dan Cinta (part 2)

Ada dua macam rasa sakit di hati yang aku tahu. Pertama, rasa sakit saat kita baru saja diberi luka itu. Kedua, rasa sakit saat kita mengira luka itu berangsur membaik tapi ternyata tidak. Luka itu masih tetap disana. Menganga. Hanya kita yang terbiasa dengan rasa sakitnya.

Dalam hidup seorang manusia biasanya ada dua orang yang baginya teramat sangat terpenting. Yaitu mereka yang membawa kehidupan untuknya, orangtua. Dalam hidupku, bukan hanya dua orang yang telah membawa kehidupan bagiku. Banyak pihak yang juga ikut serta dalam carut-marutnya kehidupanku. Tapi bagiku, kedua orang itu sama pentingnya seperti pendapat orang pada umumnya. Namun sayangnya mereka lebih memilih mengukir nama mereka dihatiku dari kejauhan. Aku sudah kehilangan dua orang terpenting dalam hidupku itu, jauh sebelum aku sadar seberapa pentingnya mereka bagiku. Jauh sebelum aku mendapati diriku sangat membutuhkan dan merindukan mereka. Itu kehilangan yang paling besar sepanjang sejarah hidupku. Tapi kenyataannya telah kulalui. Tanpa terlalu banyak airmata yang mengalir di depan umum kalau boleh dibilang. Sekalipun dalam kesendirian aku berenang di samudera airmata, aku pikir itu manusiawi. Tapi tetap saja, aku masih berdiri tegap diatas kakiku sendiri. Mengalahkan segala rasa sakit yang mungkin untuk sebagian orang hanya ada di cerita-cerita dongeng. Dongeng yang mengerikan, bukan yang indah.
Pada kenyataannya, masing-masing dari kedua orangtuaku memutuskan untuk tidak membiarkan hatiku terlalu tertaut pada  mereka, begitu juga sebaliknya. Sehingga jika tiba saatnya bagi mereka untuk menghilang dari kehidupanku, masing-masing dari kami tidak terlalu tersakiti. Tidak mengalami kehilangan yang terlalu besar. Agar  kami bisa meneruskan kehidupan kami masing-masing tanpa memikul beban rasa sakit yang terlalu besar. Dan itu berhasil. 60% berhasil.
Dengan pengalaman kehilangan sebesar itu harusnya bisa dibilang aku telah menyeberangi samudera api, atau berjalan dengan bintang dan bulan dibawah kakiku. Harusnya sudah tidak ada yang perlu aku takutkan lagi dalam hidup ini. Apalagi yang harus aku takutkan akan pergi dariku? Orangtua adalah segalanya, dan itu juga sudah pergi dariku. Tapi ternyata aku salah. Alam semesta membuktikannya. Bahkan intuisiku yang paling tidak peka pun ikut berpendapat sama. Ternyata masih banyak yang harus aku takuti, nanti (diluar dari Tuhan karena itu mutlak untuk ditakuti). Dan semuanya tiba-tiba mulai berdatangan seiring dengan datangnya seorang teman.

Seperti lagunya Savage Garden - "I Knew I Love You". Awalnya, liriknya yang berbunyi "I knew I love you before I met you" selalu sulit kucerna. Aku bersikeras, mustahil ada hal seperti itu, sama mustahilnya dengan orang yang berkata dia jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagiku tidak akan ada ketertarikan sebelum kita sudah saling kenal dalam waktu yang cukup lama. Tapi aku kenal seseorang, yang sekarang sudah menjadi temanku. Lebih dari teman, lebih dari sahabat juga. Bahkan bisa dibilang lebih dari semua yang aku punya di dunia ini. Dia merubah pemikiranku. Seperti merubah ketidakpercayaanku atas bunga edelweis yang katanya abadi menjadi 100% percaya.
Dia sudah memasuki hidupku sebelum aku sadar kalau aku menginginkannya masuk ke dalam hidupku. Dia sudah menarik perhatianku sebelum aku menyadarinya. Bukan pengalaman yang menyenangkan, karena rasanya seperti kecolongan. Dan aku bukan tipe yang mudah memberi perhatian ---pengalaman hidup dan lingkungan yang mengajariku begitu. Tapi dia melakukannya, mungkin tanpa sengaja, tapi dia tetap sudah melakukannya. Membuatku risih dan berusaha menjauhkan diri. Namun semakin besar keinginanku menjauhkan diri darinya, aku malah semakin tertarik, entah oleh apa, mendekat dengannya. Sampai akhirnya aku tidak sanggup lagi, bahkan hanya untuk membayangkan, untuk menjauhkan diriku darinya. Dia seperti sungai Amazon, dan aku membiarkan diriku terbawa arusnya tanpa perlawanan.
Makin hari hatiku makin tertaut padanya. Dan tautan itu makin mengerat begitu aku merasakan dia juga mulai menautkan hatinya padaku. Terkadang aku mengingatkan diri sendiri ini tidak baik, kedekatan yang berlebihan dengan seseorang. Karena yang kutahu semua itu, seindah apapun awalnya, pasti bermuara pada sebuah perpisahan. Dalam perpisahan sudah pasti ada airmata dan, hal yang ingin selalu kuhindari, rasa sakit. Tapi semakin sering aku ingatkan diriku, semakin aku sulit mengingat seperti apa rasa sakit itu hingga aku harus merasa setakut itu. Membuatku terus melangkah tanpa pikir panjang.
Sekarang, jika harus aku merasa takut, itu lebih dari kata terlambat. Bahkan tidak ada gunanya lagi bagiku untuk repot-repot memikirkannya. Karena semua yang aku takutkan sudah setengah jalan didepanku. Ironisnya, aku sendiri yang menapaki kakiku untuk mendekat. Sekarang, yang aku rasakan hanya kelegaan. Karena yang kucari-cari sudah kutemukan. Dia temanku. Temanku mengarungi ribuan rasa dimuka bumi ini. Temanku saat aku kebingungan, teman saat aku tertawa dan menangis, bahkan teman saat aku dibakar amarah dan teman saat aku bersikap kekanak-kanakan. Saat aku sedang mengalami masa-masa dimana kebanyakan orang akan menarik diri menjauh dariku dan membelakangiku, dia temanku malah mengulurkan tangannya untukku. Sekalipun dia sendiri tertatih dan berdarah. Dia bahkan tidak mengabaikanku. Saat itu aku tersadar. Dia bukan sungai deras yang arusnya membawaku kemana ia mau. Kami sama-sama terbawa arus deras dari sungai hati kami.
Nanti, jika tiba saatnya kami untuk berpisah karena alasan dan atau sebab yang belum terpikirkan olehku saat ini, kami akan mengalami kehilangan yang amat besar, dan masing-masing dari kami harus menanggungnya akibat dari apa yang telah kami lakukan sekarang. Membiarkan dua hati menjadi terpaut begitu eratnya. Seperti bayi yang terlahir kembar siam, saat dipisahkan dengan gunting dan pisau bedah keduanya akan tersiksa dan salah satunya akan mati hanya karena tidak mampu menahan perihnya terpisah dari sebagian dari dirinya. Cepat atau lambat aku dan dia pasti merasakan hal yang sama, dengan masing-masing dari kami harus menanggungnya sendiri-sendiri. Tidak akan ada dia untuk menguatkanku, dan tidak mungkin untukku datang padanya dan berkata "jangan bersedih, aku disini".
Nanti, segalanya akan berbeda dengan yang pertama. Aku akan kehilangan sesuatu yang besar, lagi. Tapi kemudian kami sama-sama sadar. Perpisahanlah yang membuat pertemuan dan kebersamaan itu menjadi indah dan bermakna. Tanpa menyadari akan adanya perpisahan suatu saat nanti, kami tidak akan saling merangkul dan menyayangi saat ini. Temanku, berjuang ya. Semangat!! ^_^


"Untuk teman hati, yang selalu bersabar dan setia menemani. Tulisan ini untukmu."

Minggu, 18 September 2011

Creative Writting Class

Kemarin ikut kelas menulis kreatif, pematerinya mbak Artasya Sudirman. Doi nyuruh saya semua peserta bikin satu paragraf tentang alas kaki yang kita pakai. Karena kemarin saya memakai sendal, maka jadinya seperti ini;

"Papa pernah bilang, hiduplah seperti sendal. Saat itu juga aku pikir papa mau aku hidup dengan diinjak-injak. Tapi kemudian papa bilang, tanpa sendal kaki kita bakal kotor. Sakit kena batu-batu jalanan. Kita manusia hidup harus bermanfaat seperti sendal. Sebisa mungkin untuk tidak menjadi pihak yang menyakiti tapi malah melindungi. Tulus dan ikhlas seperti sendal. Bukannya diam saja diinjak-injak, tapi hidup berdedikasi atas apa tujuan penciptaan kita yang sebenarnya. Dan aku pun mengerti."

Disuruh diposting di blog masing-masing, jadi ta' posting wae. Hehehe.